1.
Identitas Buku:
Judul Buku: Apanage Dan Bekel Perubahan
Sosial Di Pedesaan Surakarta 1830-1920
Pengarang : Dr. Suhartono
Tahun Terbit: 1991
Penerbit: PT. Tiara
Wacana Yogya
Jumlah Halaman: XXI +
220 Halaman
2.
Sinopsis
Dalam
buku ini yang berjudul Apanage Dan Bekel Perubahan Sosial Di Pedesaan Surakarta
1830-1920 berisi mengenai perubahan pengusaaan tanah dan perubahan peranan
bekel pada abad ke XIX atau setelah masuknya kolonial ke Indonesia dan
diberlakukannya Undang-Undang Agraria. Tujuan dari reorganisasi agraria adalah
pembebasan tanah dan tenaga kerja petani dari ikatan tradisional. Sebenarnya
sistem apanage muncul dari suatu
konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan dan petani yang
mengerjakan tanah narawita dan tanah apanage mendapatkan sebagian hasil dari
tanah itu yang kemudian diberi kewajiban untuk membayar upeti dan pajeg yang
berupa hasil tanah dan tenaga kerjanya. Di dalam menjalankan pemerintahannya
penguasa dibantu oleh seperangkat pejabat dan keluarganya, dan sebagai
imbalannya mereka diberi tanah apanage.
Timbulnya isilah bekel tidak dapat
dipisahkan dari sistem apanagenya,
karena patuh yang tinggal di kuthagara
tidak mengerjakan tanah apanagenya
sendiri tapi mengangkat seorang bekel.
Tanah yang diberikan kepada patuh sifatnya hanya sementara dengan hak nggaduh. Tujuan pengangkatan bekel adalah untuk mewakili patuh dan
sebagai penebas pajak, selain itu bekel juga mendapatkan sebagian dari hasil
tanah atau sebagian dari pajak. Namun setelah ada pengaruh Kolonial (1848)
peranan bekel diganti menjadi penjaga
keamanan desa. Sejak itulah muncul istilah kepala desa yang diangkat dari para bekel. Tujuan diangkatnya kepala desa
adalah untuk mengontrol perkembangan di desa-desa sehingga mudah untuk
mengawasi tanah-tanah di daerah Vorstenlanden
dan agar mereka tetap mempertahankan kedudukan mereka sebagai penguasa desa
untuk mengerahkan para petani dan melakanakan segala peraturan, pungutan atau
pengerah tenaga kerja. Tertib tidaknya penarikan pajak dari petani sangat
bergantung pada bekel sebagai
penanggung jawab. Karena dalam pelakanaannya sering terjadi kebocoran dalam
pembayarannya sehingga pajak tidak sampai kepada patuh. Diperkirakan sikep yang tidak dapat memenuhi pasokan atau
pasokan itu sebelum sampai pada patuh
sudah diambil sebagian oleh bekel.
Meskipun terjadi perubahan peranan bekel,
pada dasarnya perubahan itu tidak mendasar karena peranan bekel bersifat polimorfik. Di Vorstenlanden, peranan bekel bersifat tradisional, yaitu
sebagai perantara antara patuh dengan
petani, sedangkan di daerah gobernemen bersifat dualistik, yaitu sebagai
perantara antara patuh dengan petani
dan antara pemerintah kolonial atau perusahaan perkebunan dengan petani.
Dalam
perkembangan politik, struktur poltik masyarakat dibagi dalam berbagai
tingkatan berdasarkan golongan sosial dan di dalam masyarakat ada golongan
elite yag mempunyai otoritas dan di antara mereka terjadi adaptasi, kompetisi
dan konflik. Dalam politik, priyayi selalu terikat dengan petani karena mereka
mempunyai hubungan patron-klien. Di
pedesaan terdapat beberapa kelompok politik yang mengimbangi kekuasaan
kolonial. Dengan diperketatnya birokrasi, pemerintah kolonial semakin ketat
mengawasi pemerintahanan kerajaan dan kepala rendahan di pedesaan. Namun ada
pula yang melakukan kritik kepada penguasa resmi.
Pada
periode transisi banyak terjadi masalah, seperti konflik kepentingan raja dan
patuh dengan petani, perusahaan perkebunan dengan petani dan majikan dengan
buruh. Pada peroide transisi ini banyak banyak terjadi protes yang dilakukan
petani, sedangkan pada periode modern banyak protes sosial yang dilakukan
organsasi modern sebagai reaksi terhadap dampak perubahan sosial.
Sebagai
dampak diberlakukannya reorganisai agraria yang menyebabkan dihapusnya tanah apanage menjadi tanah individu milik
petani dan menghapus kabekelan
diganti dengan kelurahan yang dikepalai oleh lurah desa atau kepala desa.
Dengan diberlakukannya reorgansasi agraria, terjadi liberasi tanah yang
mengakibatkan kedudukan tanah dapat dipindah-pindahkan sehingga penyewa dapat
menyewa tanah seluas-luanya. Bersamaan dengan individualisasi tanah lahirlah
istilah pajak tanah menggantikan kerja wajib.
Penghapusan
apanage merupakan salah satu cara
yang digunakan kolonial dalam menjalankan indutrialisasi dan komersialisasi.
Karena dengan tanah dan tenaga kerja yang ada dalam ikatan tradisional sudah
tidak cocok lagi dan mengalam hambatan. Hambatan yang lain adalah tuntutan bekti dari para patuh yang terlalu tinggi sehingga perusahaan perkebunan merasa
keberatan. Hambatan lainnya adalah banyaknya kerusuhan di desa- desa yang
mengakibatkan banyak perusahaan perkebunan yang menutup usahanya/ pemutusan
hubungan sewa menyewa tanah, proses pemiskinan para patuh semakin cepat.
Kondisi tersebut yang menjadi alasan diberlakukannya reorgansasi untuk
memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan sebagai penguasa baru. Untuk itu,
jabatan patuh dihilangkan tapi untuk pengawasan masih dipegang oleh kepala desa
yang diangkat sebagai fungsionaris polisi sehingga tercipta suasana aman di
desa dan memudahkan penarikan pajak. Timbulnya penyalahgunaan bekel merupakan penyebab dari masihnya
pengerahan tenaga kerja dalam ikatan feodal. Kondisi terebut yang mengakibatkan
pemerintah mengubahnya menjadi kerja upah. Upah yang awalnya bertujuan untuk
petani malah disalahgunakan untuk mengedarkan barang impor dari Cina Klonthong
yang mengakibatkan petani yang miskin. Dengan adanya upah, desa mendapat
pengaruh luar dan terbuka bagi lalu lintas ekonomi uang sehingga petani bebas
memilih patronnya. Dampak positif adanya hubungan dengan luar adalah adanya
jalur kereta api.
Perubahan
kedudukan tanah apanage belum
sepenuhnya memberikan harapan kolonial untuk mengektrasi tanah dan tenaga
petani dengan maksimal. Kondisi yang mendorong pemerintah kolonial mengubah
masyarakat menjadi agro-industri yang berdampak pada status dan peranan bekel.
Reorganisasi agraria ditujukan agar perusahaan perkebunan dapat menguasai tanah
dengan harga yang murah.
C.
Pendekatan Yang Digunakan Oleh Penulis
Dalam penulisan
buku ini “Apanage dan Bekel” Dr. Suhartono menulisnya dengan pendekatan ilmu
sosial, dan yang paling terlihat adalah dengan pendekatan sosial-ekonomi dan
politik karena di dalamnya membahas mengenai kehidupan sosial ekonomi pada
kurun waktu 1830-1920 (sebelum dan sesudah diberlakukannya reorganisasi
agraria). Pada pendekatan ini melihat perubahan struktur dan fungsi sehingga
tampak perbedaan awal, pertumbuhan dan perubahannya. Metode ini merupakan cara
untuk mengungkapkan peranan bekel melalui perkembangan dan perubahannya.
Perubahan sistem apanage ke sistem agro-indutri mengakibatkan perubahan sosial.
Dilihat dari segi sosial akan tampak runtuhnya lembaga tradisional, terjadinya
disorganisasi dan diorientasi. Dilihat dari segi politik akan tampak terjadinya
kontrol administratif di pedesaan dengan mengubah otoritas tradisional ke
rasonal.