Selasa, 13 Oktober 2015

resensi buku apanage dan bekel

1.         Identitas Buku:
        Judul Buku: Apanage Dan Bekel Perubahan Sosial Di Pedesaan Surakarta 1830-1920
Pengarang  : Dr. Suhartono
Tahun Terbit: 1991
Penerbit: PT. Tiara Wacana Yogya
Jumlah Halaman: XXI + 220 Halaman
2.         Sinopsis
Dalam buku ini yang berjudul Apanage Dan Bekel Perubahan Sosial Di Pedesaan Surakarta 1830-1920 berisi mengenai perubahan pengusaaan tanah dan perubahan peranan bekel pada abad ke XIX atau setelah masuknya kolonial ke Indonesia dan diberlakukannya Undang-Undang Agraria. Tujuan dari reorganisasi agraria adalah pembebasan tanah dan tenaga kerja petani dari ikatan tradisional. Sebenarnya sistem apanage muncul dari suatu konsep bahwa penguasa adalah pemilik tanah seluruh kerajaan dan petani yang mengerjakan tanah narawita dan tanah apanage mendapatkan sebagian hasil dari tanah itu yang kemudian diberi kewajiban untuk membayar upeti dan pajeg yang berupa hasil tanah dan tenaga kerjanya. Di dalam menjalankan pemerintahannya penguasa dibantu oleh seperangkat pejabat dan keluarganya, dan sebagai imbalannya mereka diberi tanah apanage. Timbulnya isilah bekel tidak dapat dipisahkan dari sistem apanagenya, karena patuh yang tinggal di kuthagara tidak mengerjakan tanah apanagenya sendiri tapi mengangkat seorang bekel. Tanah yang diberikan kepada patuh sifatnya hanya sementara dengan hak nggaduh. Tujuan pengangkatan bekel adalah untuk mewakili patuh dan sebagai penebas pajak, selain itu bekel juga mendapatkan sebagian dari hasil tanah atau sebagian dari pajak. Namun setelah ada pengaruh Kolonial (1848) peranan bekel diganti menjadi penjaga keamanan desa. Sejak itulah muncul istilah kepala desa yang diangkat dari para bekel. Tujuan diangkatnya kepala desa adalah untuk mengontrol perkembangan di desa-desa sehingga mudah untuk mengawasi tanah-tanah di daerah Vorstenlanden dan agar mereka tetap mempertahankan kedudukan mereka sebagai penguasa desa untuk mengerahkan para petani dan melakanakan segala peraturan, pungutan atau pengerah tenaga kerja. Tertib tidaknya penarikan pajak dari petani sangat bergantung pada bekel sebagai penanggung jawab. Karena dalam pelakanaannya sering terjadi kebocoran dalam pembayarannya sehingga pajak tidak sampai kepada patuh. Diperkirakan sikep yang tidak dapat memenuhi pasokan atau pasokan itu sebelum sampai pada patuh sudah diambil sebagian oleh bekel. Meskipun terjadi perubahan peranan bekel, pada dasarnya perubahan itu tidak mendasar karena peranan bekel bersifat polimorfik. Di Vorstenlanden, peranan bekel bersifat tradisional, yaitu sebagai perantara antara patuh dengan petani, sedangkan di daerah gobernemen bersifat dualistik, yaitu sebagai perantara antara patuh dengan petani dan antara pemerintah kolonial atau perusahaan perkebunan dengan petani.
Dalam perkembangan politik, struktur poltik masyarakat dibagi dalam berbagai tingkatan berdasarkan golongan sosial dan di dalam masyarakat ada golongan elite yag mempunyai otoritas dan di antara mereka terjadi adaptasi, kompetisi dan konflik. Dalam politik, priyayi selalu terikat dengan petani karena mereka mempunyai hubungan patron-klien. Di pedesaan terdapat beberapa kelompok politik yang mengimbangi kekuasaan kolonial. Dengan diperketatnya birokrasi, pemerintah kolonial semakin ketat mengawasi pemerintahanan kerajaan dan kepala rendahan di pedesaan. Namun ada pula yang melakukan kritik kepada penguasa resmi.
Pada periode transisi banyak terjadi masalah, seperti konflik kepentingan raja dan patuh dengan petani, perusahaan perkebunan dengan petani dan majikan dengan buruh. Pada peroide transisi ini banyak banyak terjadi protes yang dilakukan petani, sedangkan pada periode modern banyak protes sosial yang dilakukan organsasi modern sebagai reaksi terhadap dampak perubahan sosial.
Sebagai dampak diberlakukannya reorganisai agraria yang menyebabkan dihapusnya tanah apanage menjadi tanah individu milik petani dan menghapus kabekelan diganti dengan kelurahan yang dikepalai oleh lurah desa atau kepala desa. Dengan diberlakukannya reorgansasi agraria, terjadi liberasi tanah yang mengakibatkan kedudukan tanah dapat dipindah-pindahkan sehingga penyewa dapat menyewa tanah seluas-luanya. Bersamaan dengan individualisasi tanah lahirlah istilah pajak tanah menggantikan kerja wajib.
Penghapusan apanage merupakan salah satu cara yang digunakan kolonial dalam menjalankan indutrialisasi dan komersialisasi. Karena dengan tanah dan tenaga kerja yang ada dalam ikatan tradisional sudah tidak cocok lagi dan mengalam hambatan. Hambatan yang lain adalah tuntutan bekti dari para patuh yang terlalu tinggi sehingga perusahaan perkebunan merasa keberatan. Hambatan lainnya adalah banyaknya kerusuhan di desa- desa yang mengakibatkan banyak perusahaan perkebunan yang menutup usahanya/ pemutusan hubungan sewa menyewa tanah, proses pemiskinan para patuh semakin cepat. Kondisi tersebut yang menjadi alasan diberlakukannya reorgansasi untuk memperkuat kedudukan perusahaan perkebunan sebagai penguasa baru. Untuk itu, jabatan patuh dihilangkan tapi untuk pengawasan masih dipegang oleh kepala desa yang diangkat sebagai fungsionaris polisi sehingga tercipta suasana aman di desa dan memudahkan penarikan pajak. Timbulnya penyalahgunaan bekel merupakan penyebab dari masihnya pengerahan tenaga kerja dalam ikatan feodal. Kondisi terebut yang mengakibatkan pemerintah mengubahnya menjadi kerja upah. Upah yang awalnya bertujuan untuk petani malah disalahgunakan untuk mengedarkan barang impor dari Cina Klonthong yang mengakibatkan petani yang miskin. Dengan adanya upah, desa mendapat pengaruh luar dan terbuka bagi lalu lintas ekonomi uang sehingga petani bebas memilih patronnya. Dampak positif adanya hubungan dengan luar adalah adanya jalur kereta api.
Perubahan kedudukan tanah apanage belum sepenuhnya memberikan harapan kolonial untuk mengektrasi tanah dan tenaga petani dengan maksimal. Kondisi yang mendorong pemerintah kolonial mengubah masyarakat menjadi agro-industri yang berdampak pada status dan peranan bekel. Reorganisasi agraria ditujukan agar perusahaan perkebunan dapat menguasai tanah dengan harga yang murah.
C.    Pendekatan Yang Digunakan Oleh Penulis

Dalam penulisan buku ini “Apanage dan Bekel” Dr. Suhartono menulisnya dengan pendekatan ilmu sosial, dan yang paling terlihat adalah dengan pendekatan sosial-ekonomi dan politik karena di dalamnya membahas mengenai kehidupan sosial ekonomi pada kurun waktu 1830-1920 (sebelum dan sesudah diberlakukannya reorganisasi agraria). Pada pendekatan ini melihat perubahan struktur dan fungsi sehingga tampak perbedaan awal, pertumbuhan dan perubahannya. Metode ini merupakan cara untuk mengungkapkan peranan bekel melalui perkembangan dan perubahannya. Perubahan sistem apanage ke sistem agro-indutri mengakibatkan perubahan sosial. Dilihat dari segi sosial akan tampak runtuhnya lembaga tradisional, terjadinya disorganisasi dan diorientasi. Dilihat dari segi politik akan tampak terjadinya kontrol administratif di pedesaan dengan mengubah otoritas tradisional ke rasonal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar